Beberapa hari terakhir ini aku cuma menuliskan draft
blog. Entah mengapa, ide utama selalu gagal aku sajikan seutuhnya, lantas
merasa sayang jika itu hilang, maka aku simpan sebagai bentuk draft.Ada
beberapa catatan kaki juga hati yang hendak aku posting, namun aku merasa ragu
untuk mempublikasikannya. Rasa-rasanya tidak begitu bagus dan terlalu mewek.Untuk
menulis sesuatu yang kemudian aku tahu itu bernama kontemplasi juga
aku tidak minat. Rasanya sungai ide itu mengering, seperti sedang kemarau,
padahal aku sedang badai sehebat-hebatnya.Dulu sekali aku pernah terjadi badai.
Dari badai lahirlah sebuah surat betapa aku tidak ingin suatu ikatan hati
berbuah nista. Surat itu aku namakan “aku diujung galau’Kali
ini pun aku ingin menulis sesuatu, tetapi rasanya kok ya janggal. Aku takut.
Takut salah. Takut sesuatu akan pergi menghilang. Seolah itu semua merupakan
episode baru dalam hidupku. Aku takut yang akan membacanya akan salah tangkap,
dan menduga dengan persepsi yang berbeda dari persepsiku.Satu kalimat yang
terucap, dia bukan milikku lagi namun telah menjadi milik semua orang. Setiap
orang akan memiliki persepsi yang berbeda terhadap satu kalimat yang aku ucap.
Itu yang teramat aku tidak inginkan.Catatan-catatan kaki juga hati ini bukanlah
sebuah jurnal ilmiah, yang ditulis dengan bahasa baku dan antiambigu. Kadang,
catatan ini sengaja kubuat ambigu demi meraih lantunan-lantunan yang pas dalam
setiap petik, jeda, dan tekanan kata.Aku menulisnya dengan hati. Bukan dengan
teori. Walau terkadang beberapa teori aku selipku, tetapi itu hanya penguatan
apa yang sedang dirasakan oleh hati.Kadang aku juga membentuk kiasan-kiasan.
Dengan sandi-sandi aku bercerita. Terkadang tentang langit, lelaki, sepi, dan
bidadari. Sayangnya, sebagian merepresentasikan itu sebagai mereka, beberapa
mulai salah tingkah karena salah sangka. Aku bukan orang yang berani menyebut
nama. Cukuplah nama di dalam hatiku.Sudah beberapa hari ini aku rindu nama.
Tetapi seperti yang sudah-sudah, aku tidak berani sapa. Tidak juga aku berani
pergi ke tempat dia berada. Kadang aku kecewa. Aku selalu terbuka, namun
mengapa seseorang yang lain berubah menjadi tertutup? Terkadang aku kecewa,
mengapa selalu hendak membaca tanpa ingin dibaca.Itu pula yang membuat aku
sedih dan aku
menangis. Aku berusaha mengenal seseorang dari jejak-jejak
yang ditinggalkan. Berusaha mempelajari, baik-buruknya untuk kutimbang karena
hendak kuterima. Namun mengapa malah menghapus semua jejak? Ke mana lagi aku
harus bertanya.Draft. Kutulis bukan untuk kubuang. Namun kusimpan. Baik-baik
aku jaga, entah suatu hari akan kembali aku kerjakan. Namun, tetap bukan untuk
aku tinggalkan
Rational Emotive Therapy (RET) RET dikembangkan oleh seorang eksistensialis Albert Ellis pada tahun 1962. RET yang menolak pandangan aliran psikoanalisis berpandangan bahwa peristiwa dan pengalaman individu menyebabkan gangguan emosional. Menurut Ellis bukanlah pengalaman atau peristiwa eksternal yang menimbulkan emosional, akan tetapi tergantung kepada pengertian yang diberikan terhadap peristiwa atau pengalaman itu. Gangguan emosi terjadi disebabkan pikiran-pikiran seorang yang bersifat irrasional terhadap peristiwa dan pengalaman yang dilaluinya. Konsep dasar RET yang dikembangkan oleh Albert Ellis adalah sebagai berikut: 1. Pemikiran manusia adalah penyebab dasar dari gangguan emosional. 2. Manusia mempunyai potensi pemikiran rasional dan irrasional. 3. Pemikiran irrasional bersumber pada disposisi biologis lewat pengalaman masa kecil dan pengaruh budaya. 4. Pemikiran dan emosi tidak dapat dipisahkan. 5. Berpikir logis dan tidak logis di
Komentar
Posting Komentar